Cara Budidaya Kacang Hijau Di Lahan Sawah

Selamat Datang di Web Rumah Budidaya, tempat beragam macam budidaya yang akan disajikan dalam web ini secara rinci dan detail. Dibawah ini saya akan membahas materi tentang Budidaya Kacang Hijau berikut penjelasannya.

Budidaya Kacang Hijau

Kacang hijau (Vigna radiata L.) adalah salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dimakan rakyat Indonesia, seperti: bubur kacang hijau dan isi onde-onde, dan lain-lain. Kecambahnya dikenal sebagai tauge. Tanaman ini mengandung zat-zat gizi, antara lain: amylum, protein, besi, belerang, kalsium, minyak lemak, mangan, magnesium, niasin, vitamin (B1, A, dan E).

Manfaat lain dari tanaman ini adalah dapat melancarkan buang air besar dan menambah semangat hidup. Selain itu juga dapat digunakan untuk pengobatan hepatitis, terkilir, beri-beri, demam nifas, kepala pusing atau vertigo, memulihkan kesehatan, kencing kurang lancar, kurang darah, jantung mengipas, dan kepala pusing (Achyad dan Rasyidah, 2006).

Meskipun tanaman kacang hijau memiliki banyak manfaat, namun tanaman ini masih kurang mendapatkan perhatian petani untuk dibudidayakan. Di Sumatera Barat, luas tanam kacang hijau menduduki posisi terakhir dibanding tanaman pangan lainnya, seperti: padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, dan kedelai. Pada hal, tanaman kacang hijau memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan.


Cara Budidaya Kacang Hijau

Berikut ini terdapat beberapa cara budidaya kacang hijau, diantaranya adalah:


a. Penggunaan Varietas Unggul

Menurut Balitkabi (2005), semua varietas kacang hijau yang telah dilepas cocok di tanam di lahan sawah. Namun, untuk daerah endemik penyakit embun tepung dan bercak daun (Cercospora) dianjurkan menanam varietas Sriti, Kenari, Perkutut, Murai, dan Kutilang.

Pada Tabel 3 disajikan keunggulan beberapa varietas unggul yang telah dilepas. Diharapkan petani mempunyai banyak pilihan dalam menggunakan varietas kacang hijau yang mereka sukai.

Tabel 3. Keunggulan beberapa varietas unggul kacang hijau.

Varietas Keunggulan
Sriti Tipe determinet; produktivitas rata-rata 1,58 t/ha; warna biji hijau kusam;

ukuran biji besar (6,0-6,5 g/100 biji); toleran penyakit embun tepung dan bercak daun; umur panen 60-65 hari.

Murai Tipe determinet; produktivitas rata-rata 1,5 t/ha (rentang hasil 0,9-2,5 t/ha);

warna biji hijau kusam; ukuran biji besar (6 g/100 biji); tahan penyakit bercak daun; umur panen 63 hari.

Perkutut Tipe determinet; produktivitas rata-rata 1,5 t/ha (rentang hasil 0,7-2,2 t/ha);

warna biji hijau mengkilat; ukuran biji sedang (5 g/100 biji); tahan penyakit embun tepung dan agak tahan penyakit bercak daun; umur panen 60 hari.

Kutilang Tipe determinet; produktivitas rata-rata mencapai 2,0 t/ha; biji berwarna hijau

mengkilat; ukuran biji besar (6 g/100 biji); tahan penyakit embung tepung; umur panen 60-67 hari.

Kenari Tipe tegak; determinet; produktivitas rata-rata 1,64 t/ha (rentang hasil 0,8-2,4 t/ha); warna biji hijau mengkilat; ukuran biji besar (6,7 g/100 biji); agak tahan

penyakit bercak daun dan toleran penyakit karat; umur panen 60-65 hari.

Sampeong Hasil pemurnian varietas lokal Samsik dari Nusa Tenggara; ukuran biji sangat kecil (2,5-3,0 g/100 biji) sehingga sesuai untuk dibuat kecambah (tauge);

produktivitas rata-rata 1,0 t/ha; umur panen 70-75 hari.

Camar Berumur pendek (panen 60 hari); Produktivitas 1-2 t/ha; tahan penyakit busuk daun dan bercak coklat; polong masak cukup seragam sehingga panen dapat serempak; polong berada di atas daun canopi sehingga memudahkan penen

secara maksimal

Sumber: BPTP NTB (2002); Balitkabi (2005).


b. Penyiapan Lahan

Kacang hijau dapat tumbuh pada semua jenis tanah sepanjang kelembaban dan tersedianya unsur hara yang cukup. Untuk itu lahan yang akan dipergunakan harus dipersiapkan sebaik-baiknya. Pada lahan sawah setelah panen padi, tidak perlu dilakukan pengolahan tanah (tanpa olah tanah=TOT).

Menurut Sunantara (2000) dan Balitkabi (2005), jerami cukup dipotong pendek atau rata dengan tanah. Sementara itu, pada lahan sawah yang sudah agak lama tidak ditanami perlu dilakukan pengolahan tanah secara sempurna. Untuk menghindari air tergenang pada musim hujan perlu dibuat saluran drainase dengan lebar dan kedalaman 20-30 cm dan jarak antar saluran maksimum 4 m (Balitkabi, 2004).


c. Penanaman

Pada daerah endemis hama lalat bibit dan untuk menghindari serangan semut maka terlebih dahulu benih dicampur dengan Marshal 25 ST (Carbosulfan) dengan takaran 10-15 g/kg benih atau Fipronil dengan takaran 5 cc/kg benih.

Penanaman dilakukan dengan sistem tugal sebanyak 2-3 biji/lubang dengan kedalaman 3-5 cm, kemudian ditutup dengan abu dapur/jerami atau tanah halusl atau pupuk kandang. Kebutuhan benih berkisar 15-20 kg/ha. Jarak tanam bervariasi, yaitu 40×10 cm (populasi 300.000-400.000 tanaman/ha) pada musim hujan atau 40×15 cm (populasi 400.000-500.000 tanaman/ha) pada musim kemarau (Balitkabi, 2005; Hilman, et al., 2004).

Balitkabi (2004) juga menyarankan jarak tanam mengikuti jarak tunggul padi. Pada saat tanam, kelembaban tanah tidak boleh terlalu tinggi karena dapat menyebabkan biji busuk. Penyulaman dapat dilakukan umur 7 hari (Tim Prima Tani, 2006).

Menurut Hilman, et al. (2004), pada umumnya petani melakukan penanaman benih kacang hijau sesudah padi dengan cara sebar benih sebelum atau sesudah padi dipanen. Sebar benih kacang hijau setelah padi dipanen dilakukan dengan atau tanpa pembabatan jerami, dan benih yang diperlukan berkisar 50-75 kg/ha.


d. Pemupukan

Dalam bertanam kacang hijau, petani jarang melakukan pemupukan. Cara ini juga disarankan terutama pada lahan-lahan yang subur. Sedangkan pada tanah kurang subur diberikan pupuk sebanyak 45 kg Urea + 45- 90 kg SP36 + 50 kg KCl/ha (Hilman, et al., 2004; Balitkabi, 2005). Sunantara (2000) menyarankan pemberian pupuk sebanyak 50 kg Urea + 60 kg SP36 + 50 kg KCl/ha.

Pupuk diberikan pada saat tanam secara larikan di sisi lubang tanam sepanjang barisan tanaman. Bahan organik berupa pupuk kandang sebanyak 15-20 t/ha atau abu dapur/abu hasil pembakaran jerami sebanyak 5 t/ha sangat baik diaplikasikan untuk menutup lubang tanam. Menurut Balitkabi (2004), cara ini dapat meningkatkan hasil kacang hijau mencapai 1,5 t/ha.


e. Penggunaan Mulsa Jerami

Penggunaan mulsa jerami yang ditebar pada hamparan pertanaman kacang hijau secara merata dapat mengurangi serangan hama lalat bibit, menekan pertumbuh- an gulma, dan memperlambat proses penguapan air tanah. Balitkabi (2005) dan Tim Prima Tani (2006) menganjurkan penggunaan jerami dengan takaran sebanyak 5 t/ha.


f. Penyiangan

Penyiangan dilakukan tergantung dengan pertumbuhan gulma. Sunantara (2000) menganjurkan umur 10-15 hari setelah tanam (hst) dan 25-30 hst, dengan cara dikored atau menggunakan cangkul.

Pada daerah yang langka tenaga kerja dapat menggunakan herbisida pra tumbuh non selektif seperti: Lasso, Paraquat, Dowpon, dan Goal dengan takaran 1-2 l/ha yang diaplikasikan 3-4 hari sebelum tanam.


g. Pengairan

Kacang hijau termasuk tanaman yang toleran terhadap kekurangan air, yang penting tanah cukup kelembabannya. Namun, bila tanah pertanaman kacang hijau kekeringan sebaiknya segera diairi terutama pada periode kritis, yaitu: saat tanam, saat berbunga (umur 25 hst), dan saat pengisian polong (umur 45-50 hst) (Sunantara, 2000). Untuk kacang hijau yang ditanam di tanah bertekstur ringan (berpasir), umumnya pengairan dilakukan dua kali yaitu umur 21 dan 38 hst, sedangkan pertanaman di tanah bertekstur berat (lempung), biasanya diperlukan pengairan hanya satu kali (Balitkabi, 2005).


h. Pengendalian Hama

Serangan hama merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya hasil di tingkat petani. Dilaporkan terdapat sebanyak 30 jenis serangga yang telah diketahui merupakan hama kacang hijau dan 20 jenis digolongkan sebagai hama penting yang dapat menurunkan kualitas tanaman kacang hijau.

Hama ini menyerang seluruh bagian tanaman kacang hijau sejak tanaman tumbuh sampai panen (Tengkano, 1986 cit LPTP, 2000). Diantara hama penting kacang hijau tersebut adalah: lalat bibit Ophyomia phaseoli, ulat jengkal Plusia chalsites, kepik hijau Nezara viridula, kepik coklat Riptortus linearis, penggerek polong (Maruca testulalis dan Etiella spp.) dan kutu thrips (Hilman, et al., 2004).

Menurut Nurdin (1994), di Sumatera Barat hama utama yang menyerang tanaman kacang hijau adalah: lalat bibit Ophyomia phaseoli, Aphid sp, belalang, ulat grayak Spodoptera litura, ulat penggulung daun Lamprosema indicata, ulat jengkal Plusia chalsites, kepik hijau Nezara viridula, kepik coklat Riptortus linearis, dab penggerek polong Maruca testulalis.

Pengendalian hama dapat dilakukan dengan menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Penggunaan insektisida merupakan alternatif terakhir bila cara lain tidak mangkus dalam mengendalikan hama.

Insektisida anjuran, antara lain adalah: Confidor, Regent, Curacron, Atabron, Fura dan, atau Pegassus dengan dosis 2-3 ml/l air dan volume semprot 500-600 l/ha (Balitkabi, 2005). Menurut Sunantara (2000), untuk pengendalian lalat bibit, ulat daun maupun penggerek polong dapat digunakan insektisida: Marshal, Fastac, Decis, Matador, dan Atabron.

Sedangkan untuk mengendalikan kutu dan kepik yang menyerang daun maupun polong dapat digunakan insektisida: Decis, Basso, Kiltop, Ambush, dan Larvin. Waktu penyemprotan insektisida tergantung populasi hama di lapangan. Bila populasi telah mencapai ambang kendali, baru dilakukan penyemprotan.


i. Pengendalian Penyakit

Penyakit utama tanaman kacang hijau adalah bercak daun Cercospora canescens, busuk batang, embun tepung Erysiphe polygoni, dan penyakit puru Elsinoe glycines. Pengendalian dapat dilakukan dengan penyemprotan fungisida, seperti: Benlate, Dithane M45, Baycor, Delsene MX200, atau Daconil pada awal serangan dengan takaran 2 g/l air.

Fungisida laian yang dapat mengendalikan penyakit embun tepung dan bercak daun adalah hexakonazol yang diaplikasikan pada umur 4 dan 6 minggu untuk penyakit embun tepung atau 4, 5, dan 6 minggu untuk penyakit bercak daun (Balitkabi, 2005).

Sementara itu penyakit embung tepung juga dapat dikendalikan dengan menggunakan varietas tahan, seperti: Sriti dan Kutilang. Menurut Anwari dan Iswanto (2004), varietas Kutilang mempunyai tingkat ketahanan lebih tinggi terhadap penyakit embun tepung.

Penggunaan varietas tahan dapat menggurangi pemakaian fungisida sehingga dapat menekan biaya produksi dan secara tidak langsung juga melestarikan lingkungan.


j. Panen dan Pascapanen

Umur panen barvariasi tergantung varietas yang ditanam. Panen dilakukan bila polong berwarna hitam atau coklat serta telah kering dan mudah pecah. Panen dapat dilakukan satu, dua, atau tiga kali tergantung varietas yang ditanam.

Hasil panen langsung dijemur di atas lantai beralaskan terpal atau karung dengan ketebalan 2-3 cm, pembalikkan dilakukan setiap + 3 jam. Polong yang sudah kering dipukul-pukul sampai kulit polong pecah (di dalam karung untuk menghindari kehilangan hasil) dan pemisahan biji dari kulit polong dilakukan dengan nyiru, tampi, atau blower.

Biji yang sudah bersih dijemur lagi sampai kering simpan yaitu kadar air 8-9% (Sunantara, 2000). Secara umum teknik produksi kacang hijau di lahan sawah setelah padi sawah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Teknik budidaya kacang hijau di lahan sawah setelah padi sawah.

Komponen

teknologi

Uraian
Varietas Unggul ▪  Semua varietas unggul cocok di tanam di lahan sawah. Untuk daerah endemik penyakit embun tepung dan bercak daun (Cercospora) dianjurkan varietas Sriti, Kenari, Perkutut, Murai, dan

Kutilang.

Kebutuhan

benih

▪  15-20 kg/ha
Penyiapan lahan ▪  Pada lahan sawah setelah panen padi, tidak perlu dilakukan pengolahan tanah (tanpa olah tanah=TOT).

▪  Jerami cukup dipotong pendek atau rata dengan tanah. Lahan sawah yang sudah agak lama tidak ditanami perlu dilakukan pengolahan tanah secara sempurna.

▪  Untuk menghindari air tergenang, dibuat saluran drainase dengan lebar dan kedalaman 20-30 cm dan jarak antar saluran maksimum 4 m

Penanaman ▪  Tanam dengan sistem tugal sebanyak 2-3 biji/lubang dengan kedalaman 3-5 cm, kemudian ditutup dengan abu dapur/jerami atau tanah halus atau pupuk kandang.

▪  Jarak tanam bervariasi, yaitu 40×10 cm (populasi 300.000-400.000 tanaman/ha) pada musim hujan atau 40×10 cm (populasi 400.000-500.000 tanaman/ha) pada musim kemarau.

▪  Juga disarankan jarak tanam mengikuti jarak tunggul padi. Pada saat tanam, kelembaban tanah tidak boleh terlalu tinggi karena dapat menyebabkan biji busuk.

▪  Penyulaman dapat dilakukan umur 7 hari

Pemupukan ▪  Tanah subur tidak perlu dipupuk.

▪  Tanah kurang subur dipupuk sebanyak 45 kg Urea + 45-90 kg SP36 + 50 kg KCl/ha atau 50 kg Urea + 60 kg SP36 + 50 kg KCl/ha.

▪  Pupuk diberikan pada saat tanam secara larikan di sisi lubang tanam sepanjang barisan tanaman.

▪  Bahan organik berupa pupuk kandang sebanyak 15-20 t/ha atau abu dapur/abu hasil pembakaran jerami sebanyak 5 t/ha sangat baik diaplikasikan untuk menutup lubang tanam.

Penggunaan

mulsa jerami

▪  Sebanyak 5 t/ha, yang dihamparkan merata di areal pertanaman
Penyiangan gulma ▪  Tergantung dengan pertumbuhan gulma, biasanya umur 10-15 hst dan 25-30 hst, dengan cara dikored atau menggunakan cangkul.

▪  Daerah  langka  tenaga  kerja,  gunakan  herbisida  pra  tumbuh  non  selektif  seperti:  Lasso,

Paraquat, Dowpon, dan Goal dengan takaran 1-2 l/ha yang diaplikasikan 3-4 hari sebelum tanam.

Pengairan ▪  Diairi bila kekeringan pada periode kritis, yaitu: saat tanam, saat berbunga (umur 25 hst), dan saat pengisian polong (umur 45-50 hst)

▪  Pada tanah bertekstur ringan (berpasir), pengairan dilakukan dua kali yaitu umur 21 dan 38 hst

▪  Pada tanah bertekstur berat (lempung), pengairan hanya satu kali

Pengendalian hama ▪  Menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

▪  Insektisida anjuran, antara lain: Confidor, Regent, Curacron, Atabron, Furadan, atau Pegassus dengan dosis 2-3 ml/l air dan volume semprot 500-600 l/ha

▪  Untuk pengendalian lalat bibit, ulat daun maupun penggerek polong gunakan insektisida: Marshal, Fastac, Decis, Matador, dan Atabron.

▪  Untuk pengendalian kutu dan kepik yang menyerang daun maupun polong gunakan

insektisida: Decis, Basso, Kiltop, Ambush, dan Larvin.

Pengendalian penyakit ▪  Penyemprotan fungisida, seperti: Benlate, Dithane M45, Baycor, Delsene MX200, atau Daconil pada awal serangan dengan takaran 2 g/l air.

▪  Penyakit embung tepung dikendalikan dengan varietas tahan, seperti: Sriti dan Kutilang.

▪  Gunakan fungisida hexakonazol yang diaplikasikan pada umur 4 dan 6 minggu untuk penyakit embun tepung serta 4, 5, dan 6 minggu untuk penyakit bercak daun.

Panen dan pascapanen

▪  Umur panen barvariasi tergantung varietas.

▪  Panen dilakukan bila polong berwarna hitam atau coklat serta telah kering dan mudah pecah.

▪  Panen dapat dilakukan satu, dua, atau tiga kali tergantung varietas.

▪  Hasil panen langsung dijemur di atas lantai beralaskan terpal atau karung dengan ketebalan 2-3 cm, pembalikkan dilakukan setiap + 3 jam.

▪  Polong yang sudah kering dipukul-pukul sampai kulit polong pecah (di dalam karungl) dan pemisahan biji dari kulit polong dilakukan dengan nyiru, tampi, atau blower.

▪  Biji yang sudah bersih dijemur lagi sampai kering simpan yaitu kadar air 8-9%.


Daftar Pustaka:

  1. Anwari, M. dan R. Iswanto. 2004. Kutilang Varietas Kacang Hijau Tahan penyakit Embun Tepung. Berita Puslitbangtan 29, April 2004; 16 hlm.
  2. BPTP NTB. 2002. Diskripsi Varietas Unggul Palawija. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. 30
  3. 2004. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 30 hlm.
  4. 2005. Teknologi produksi kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 36 hlm.
  5. 2004. Sumatera Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Barat. 584 hlm.
  6. Dipertahorti Sumbar. 2005. Potensi, program dan permasalahan pengembangan tanaman pangan dan hortikultura di Sumatera Barat. Dipertahorti Propinsi Sumbar.
  7. Hilman, Y. A. Kasno, dan N. Saleh. 2004. Kacang-kacangan dan umbi-umbian: Kontribusi terhadap ketahanan pangan dan perkembangan teknologinya. Dalam Makarim, et al. (penyunting). Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor; 95-132
  8. 2000. Budidaya Tanaman Kacang Hijau di Lahan Sawah. Tim Program Pertanian Berkelanjutan dan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan. Surakarta; 52 hlm.
  9. Nurdin, F. 1994. Kacang Hijau di Sumatera Barat: Budidaya, Hama, dan pengendaliannya di tingkat petani. Risalah Seminar Balittan Vol. III. Balittan Sukarami; 121-129 hlm.
  10. Sunantara, I.M.M. 2000. Teknik produksi benih kacang hijau. No. Agdex: 142/35. No. Seri: 03/Tanaman/2000/September 2000. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar.

Sekian Materi Pada Hari Ini Mengenai Budidaya Pertanian Dengan Materi Cara Budidaya Kacang Hijau Di Lahan Sawah

Semoga Apa yang Disampaikan Bermanfaat Buat Para Pecinta Ikan. Terima Kasih …!!!


Baca Artikel Lainnya: